Haryanto Mangaratua Siahaan, Ph.D.
(Dosen Program Studi Fisika)
Jika kita membuka halaman: http://unpar.ac.id/great-unpar/, maka dapat ditemukan sebuah kalimat: “Universitas Katolik Parahyangan dicita-citakan untuk menjadi great (hebat), tidak sekadar good (bagus) seperti saat ini.” Lumrah, jika terpikir kemudian, bagaimana cara mencapai UNPAR yang great. Jawabannya cukup jelas, sesuai tridharma perguruan tinggi, maka UNPAR harus memajukan pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat yang dimilikinya. Ketiga aspek ini bukan hanya semata-mata menjadi beban untuk dosen, tetapi juga didukung oleh mahasiswa yang notabene juga termasuk dalam civitas akademik UNPAR. Saat aspek pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat di UNPAR sudah masuk kadar great, maka cita-cita menjadi the great UNPAR di atas tentu telah tercapai.
Sebagai salah satu staf pendidik di lingkungan UNPAR yang sementara ini secara pribadi sedang memilih untuk mengedepankan aspek penelitian, maka ijinkan saya melalui tulisan ini untuk bisa berbagi pandangan bagaimana UNPAR bisa menjadi great dalam penelitian. Aspek penelitian dalam sebuah universitas cukup sering dianggap kurang penting, atau bahkan dianggap sebagai sesuatu yang mewah untuk dilakukan oleh sebuah universitas di Indonesia. Maka wajar cukup banyak universitas di Indonesia yang lebih menekankan aspek pendidikan dan pengabdian masyarakat, yang juga merupakan bagian dari tridharma perguruan tinggi, karena dianggap lebih dapat dilakukan, dan lebih menyentuh kebutuhan masyarakat (praktis). Tidak mengherankan, predikat universitas-universitas dari Indonesia di berbagai hasil penelitian/survey tidak cukup menggembirakan. Khusus untuk UNPAR, paling tidak dari dua sistem penilaian yaitu webometrics dan 4icu, UNPAR berada di urutan 3667 dunia (versi webometrics) dan 5028 dunia (versi 4icu). Mungkin, dengan angka ini kita tidak bisa mengatakan bahwa UNPAR sudah termasuk dalam kategori great pada tataran internasional. Lalu bagaimana posisi kita di dalam negri? Webometrics menempatkan UNPAR di urutan 38, dan urutan ke 57 versi 4icu. Tentu dari ribuan kampus di Indonesia, baik negri ataupun swasta, hal ini sudah tergolong baik (good). Tapi apakah ini sudah termasuk great? Mari kita masing-masing yang menjawabnya.
Terlepas dari apakah UNPAR, menurut kita masing-masing, sudah termasuk great atau masih good, dari data di atas, tentu masih ada ruang dimana UNPAR dapat didorong untuk menjadi lebih baik, khususnya dalam hal penelitian. Buktinya masih ada puluhan universitas-universitas lain di Indonesia, menurut webometrics dan 4icu, lebih baik dibandingkan UNPAR. Padahal kalau kita renungkan sejenak, UNPAR seharusnnya dapat berada di atas univeristas-universitas yang “lebih baik” tersebut. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana peningkatan penelitian oleh civitas akademik UNPAR dapat menaikkan posisi UNPAR dalam penilaian lembaga survey semacam webometrics atau 4icu ini?
Dalam metodologi penilaiannya, webometrics menggunakan research output dari sebuah universitas sebagai salah satu parameter penting. Dewasa ini dengan sistem yang serba online, baik dalam menerbitkan karya tulis atau mendaftarkan keikutsertaan dalam sebuah konferensi internasional, tentu tidak sulit bagi sebuah lembaga survey untuk membuat algoritma penilaian kualitas penelitian sebuah universitas berdasarkan data yang terdapat di internet. Semakin baik kuantitas dan kualitas hasil penelitian sebuah universitas, tentu semakin baik juga level universitas tersebut menurut webometrics. Salah satu cara mengukur kuantitas dan kualitas hasil penelitian ini adalah dengan menghitung seberapa banyak jumlah publikasi penelitian yang dihasilkan oleh sebuah universitas dan seberapa besar impact factor jurnal dimana hasil penelitian tersebut diterbitkan.
Aspek penilaian lain mengenai baik atau tidaknya sebuah universitas, yang kebetulan berlaku di webometrics and 4icu, adalah seberapa popular universitas tersebut di dunia maya, terutama dalam tataran internasional. Praktisnya, misalnya seberapa sering nama sebuah universitas dicari dengan menggunakan mesin pencari seperti google, yahoo, dan lain sebagainya. Tentu tingkat kepopuleran di dunia maya dalam tataran internasional ini cukup berkaitan erat dengan seberapa baik research output sebuah universitas. Pengalaman pribadi saya, saat membaca sebuah makalah penelitian yang diterbutkan di sebuah jurnal bereputasi, namun institusi penelitinya masih asing terdengar, langkah pertama yang saya lakukan adalah dengan meng-google institusi tersebut. Tentu kurang lebih hal yang sama akan dilakukan oleh orang di luar negri, saat mendapati Parahyangan Catholic University muncul sebagai institusi tempat melakukan penelitian dalam sebuah artikel pada jurnal internasional. Maka, semakin sering nama UNPAR dicari oleh mesin pencari di dunia maya, oleh seseorang di luar Indonesia, maka menurut webometrics dan 4icu, peringkat UNPAR semakin baik. Lebih jauh, semakin baik jurnal dimana nama UNPAR muncul, tentu semakin banyak orang yang akan membaca artikel yang tercatut nama UNPAR tersebut, dan bahkan menjadikan artikel tersebut menjadi bahan rujukan dalam penelitiannya.
Dalam uraian di atas, saya telah cukup menguraikan mengapa untuk mencapai UNPAR yang great, maka UNPAR juga harus memajukan penelitian yang dilakukan oleh civitas akademiknya. Beberapa tahun terakhir, hal ini telah direalisasikan dengan cukup banyaknya dana penelitian yang dianggarkan untuk penelitian dosen di UNPAR, baik dari sumber internal, maupun eksternal. Namun menurut saya, dana yang sedemikian besar tidak akan efektif, jika dosen sebagai pelaku utama penelitian dan pengguna dana tidak diberikan ruang yang memadai untuk melakukan penelitian yang baik, apalagi first class research. Barangkali dengan mendanai penelitian seorang dosen, sang dosen dapat mencapai output pada akhir penelitian sesuai dengan standar yang diminta oleh UNPAR, sebut saja publikasi nasional atau internasional dengan impact factor cukup rendah. Namun apakah UNPAR yang great dapat dicapai dengan proses seperti ini? Sebagai perbandingan, dari pengalaman saya sempat menimba ilmu selama beberapa tahun di sebuah universitas riset di Kanada, yang tidak termasuk dalam top 200 baik menurut webometrics ataupun 4icu, supervisor saya yang pada waktu itu masih menjabat sebagai assistant professor (setingkat lektor) hanya diberikan beban mengajar 9 jam per tahun. Jadi misalnya dia bisa membagi, 2 mata kuliah di semester fall, dan 1 mata kuliah di semester winter. Jadi meskipun beliau juga diberikan beberapa tugas administratif yang ringan, beliau masih memiliki waktu yang memadai untuk bisa melakukan penelitian yang baik.
Tentu naif memang kalau di UNPAR hal yang sama diterapkan. Namun untuk melakukan penelitian yang baik, misalnya dengan beban mengajar minimal 12 sks di tiap semester (ganjil dan genap), tentu akan cukup berat dilakukan, meski dana penelitian cukup memadai. Karena untuk melakukan penelitian yang baik, cukup besar energi dan waktu yang harus dialokasikan. Maka itu, dengan tidak mengubah beban mengajar minimal untuk dosen di UNPAR, maka dana yang dikucurkan oleh UNPAR atau yang didapat dari sumber eksternal, tidak akan efisien dan maksimal untuk membawa UNPAR menjadi sebuah univeristas yang great dalam penelitian.
Sumber: pip.unpar.ac.id